Saturday, December 8, 2018

Belajar Makna Kehidupan dari Pasien
oleh: Mahasiswi Praktikan

Beberapa hari lalu, saya berdinas di salah satu ruang rawat inap yang terkenal dengan bagian othopedi-nya. Kebanyakan pasien di sana mengalami fraktur (terputusnya kontinuitas tulang) akibat mengalami kecelakaan lalu lintas, baik dikarenakan kelalaiannya maupun kelalaian orang lain yang semena-mena menggunakan jalan.

Saat dinas di ruang tersebut, saya diwajibkan mengambil satu pasien untuk dijadikan pasien kelolaan (pasien kelolaan merupakan pasien yang dipantau secara mendetail dan kontinyu setiap hari terkait intervensi yang diberikan dalam rangka memberikan asuhan keperawatan).

Pasien kelolaan saya adalah Tn.T. Beliau mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan terjadinya fraktur metatarsal dan degloving injury. Beliau sudah melalui beberapa kali tindakan di ruang operasi dan tindakan terakhir yang dilakukan adalah debridement and disarticulation toes (symes amputasi).

Saat hari pertama berdinas, saya memperkenalkan diri kepada beliau dan beliau membalas dengan sikap yang sangat hangat dan terbuka. Beliau bercerita bahwa kecelakaan terjadi setelah beliau menjenguk anaknya di pondok pesantren (selama di RS, anak beliau yang di pondok tidak pernah diberitahu mengenai kejadian yang ayahnya alami). Banyak sekali hal yang beliau ceritakan. Saya siap menjadi pendengar setia mendengarkan perjalan hidup yang selalu ada hikmah di setiap apa yang diceritakan.

Beliau tak seperti pasien pada umumnya yang masih dalam tahap denial, yakni tahap dimana seseorang mengingkari kenyataan atau bahkan tahap depression. Ada beberapa tahapan berduka menurut Kubler-Ross yakni denial- anger- bergaining- depresi- acceptance. Menurut saya, Tn.T sudah berada pada tahapan acceptance/ menerima (mulai menerima kehilangan).

"Allah mau saya lebih lama di rumah, mungkin kemarin-kemarin saya terlalu giat bekerja. Jadi sekarang disuruh istirahat dulu." beliau berkata dengan pikiran positif terhadap Tuhan.

Tn.T adalah salah satu pasien yang dalam keterbatasannya di tempat tidur masih mau melakukan sholat 5 waktu, sholat sunnah pun beliau kerjakan. Soal spiritual, sudah tak diragukan. 

Saat saya berdinas malam, saya berkeliling mengecek cairan infus, semua sudah terpejam walaupun ada satu dua orang yang terbangun karena mendengar langkah kaki saya. Dari setiap kamar yang saya datangi, hanya beliau yang masih membuka mata dan sedang melakukan sholat tahajud. Belum pernah sebelumnya menemukan pasien yang tetap berusaha menunaikan kewajiban dan sunnah ibadah dalam keadaan sakit yang teramat nyeri. Beliau bilang, luka operasinya nyeri skala 7/10 sehingga tidak bisa tidur, "daripada cuma meringkih kesakitan, lebih baik saya sholat malam saja" kata Tn.T.

Ya.. Saya belajar banyak dari beliau tentang makna mengikhlaskan kepada apa yang Tuhan titipkan. Dan juga belajar bahwa sesakit apapun, kewajiban menjalankan sholat 5 waktu adalah yang utama.

***

Hari ke lima dinas.

Saya berdiri di depan kamar pasien, menunggu penguji yang sebentar lagi akan menguji saya. Di sela-sela menunggu, saya memejamkan mata sambil mengingat-ngingat tindakan yang akan saya lakukan untuk ujian setelah ini.

Saat saya membuka mata, istri Tn.T, yakni Ny.D berdiri di depan saya sambil berkata "Ngapain, Neng?".

"Zidah lagi mau ujian, ini lagi nunggu penguji. Doa'in ya biar lancar." kataku.

"Iya, biar lancar. Biar jadi suster. Semoga mudah ujiannya. Nilainya bagus." beliau merangkul saya dan mendekatkan wajahnya.

"Aamiin.. Oia, besok saya terakhir dinas di ruangan ini. Senin besok harus pindah ke ruangan lain."

"Biar betah ya, Neng. Yang penting harus ikhlas nolong orang. Dan yang lebih penting lagi harus nurut dan berbakti sama orang tua" rangkulan beliau semakin kuat.

"Iya, ridhollah fi ridhol walidain" kataku sambil membalas rangkulan tersebut.

Seketika beliau langsung memeluk dan menangis.

"Loh kok jadi nangis. Kan perpisahannya besok" kata saya meledek.

"Eneng udah kaya anak ibu. Jadi inget anak ibu di rumah, badannya kaya eneng juga." kata Ny.D sambil menyeka mata.

Saya hanya membalas senyum dan pamit karena ujian saya akan dimulai.

***

Saya belajar banyak dari Tn.T dan Ny.D bahwa segala yang dititipkan Tuhan harus diikhlaskan ketika telah habis waktu peminjaman. Harus belajar juga tentang kesabaran yang tak berbatas. Harus belajar juga bahwa memberi support kepada orang yang kita cintai adalah hal yang sangat dibutuhkan bagi orang yang sakit, dan jangan pernah mengeluh lelah di depan orang yang sakit karena dia akan merasa tak berguna dan hanya bisa menyusahkan orang lain. Dan yang tak kalah pentingnya adalah lakukan ibadah kapanpun dan dalam kondisi apapun.

Terimakasih untuk pelajaran hidup yang diberikan. Semoga Tn.T segera sehat dan dapat beraktivitas secara mandiri.

Awal Desember, 2018

Friday, November 9, 2018

Wisuda Saya

April lalu, aku menulis kisah "Bertemu Denganmu" di berbagai tempat dan salah satunya adalah acara wisudamu. Tapi kali ini, aku tak akan bercerita tentangmu.

Saat ini, aku akan bercerita kepada kau yang ingin membaca, bukan kepada kamu yang selalu ku ceritakan namun tak pernah membaca nya.

19 Agustus 2018, hari istimewa setelah menempuh pendidikan 4 tahun yang sangat menguras segala-galanya (?). Yaa.. hari ini adalah hari wisudaku.

Tahun pertama, kedua, dan ketiga hanya bisa melihat kakak kelas keluar dari auditorium sambil memberikan selamat, namun hari ini, aku yang diberikan selamat. Belum pantas rasanya. Kalau di dunia ini ada mesin penghitung ilmu, maka aku yang paling sedikit.

Ternyata ini rasanya gerah menggunakan baju kebaya dilapisi toga dengan keriwehan ratusan orang yang lelah menunggu. Sama halnya aku yang lelah menunggumu. *ups

Saking ribetnya, sampai gak sempat berfoto-foto untuk mengabadian momen, tapi terjmakasih banyak bagi yang sudah hadir memberikan selamat dan hadiah.


Banyak orang datang memberikan ucapan
Banyak orang datang memberikan kejutan


Semua orang memberi kasih
Sementara saya hanya bisa berkata terimakasih



Maaf, tak dapat berbalas
Semoga Tuhan yang membalas


Terimakasih Buya, orang pertama yang menyambutku keluar dari pintu audit dengan membawa segala perlengkapan wisuda (goodybag +album wisuda). Terimakasih umi yang sudah menambal bedak di mukaku setelah mendengar komentar buya "Kok muka kamu ada item-itemnya", pada hal itu shading wkwk.

Foto bersama umi

Foto bersama buya dan umi

Foto bersama buya, ibu (nenek) dan umi

Terimakasih juga untuk kakak-kakak, teman seangkatan, dan adik-adik CSSMoRA UIN Jakarta. Tak ada kemeriahan yang lebih meriah dibanding mendengarkan jargon CSSMoRA di Kampus 1 UIN (setiap kita jargon, pasti selalu jadi perhatian orang-orang wkwk).

Foto bersama CSSMoRA UIN Jakarta

Orang 

Monday, October 29, 2018


Bertemu Dengannya (Lagi)! V

28 Oktober 2018, aku memutuskan untuk tidak pernah membuka instastory-nya, me-like postingan-nya, ngepoin rumah instagramnya, pokoknya apapun yang berhubungan dengannya. Keputusan yang menurutku sangat tepat untuk melupakan dia yang tak pernah menghiraukan.

29 Oktober 2018, rencana yang aku susun belum ada satu hari ternyata gagal. Tuhan mempertemukan aku dengannya setelah beberapa bulan tak pernah kujumpai parasnya.

Ahh.. Terkadang masih tak mengerti apa maksud Tuhan, dan kemana takdir akan membawa cerita ini. Setiap detik cerita Tuhan begitu rahasia.

Perjumpaan ku dengannya kali ini lagi-lagi di rumah Tuhan, yakni masjid yang berada di rumah sakit tempatku berdinas selama satu tahun ke depan.

Sudah dua minggu lebih aku dinas di salah satu rumah sakit yang sama dengannya. Sempat ada pikiran "mudah-mudahan bisa ketemu dia", atau kadang malah "jangan sampe ketemu". Ahh.. Rasa memang aneh, suka berganti-ganti dengan hal yang tak pasti. 

Lanjut ke cerita bertemu dengannya.

Aku sedang duduk di selasar masjid bersama kedua temanku, kami berbincang tugas sembari makan bekal yang sudah disiapkan dari rumah masing-masing. Tiba-tiba seorang pria dengan baju lenagn panjang,  berkalung tali id-card berwarna merah jalan di depanku. Ya.. Dia hadir kembali, setelah lama pergi meninggalkan bayangan.

"Mengapa di saat ingin melupakan, Tuhan malah mempertemukan?"


29 Oktober 2018, 13:45

Thursday, August 9, 2018

Zidah’s Journey: Tentang Lombok

Tahun 2017, aku, kakak, adik dan beberapa teman pergi ke Lombok dengan tujuan mendaki Gunung Rinjani untuk mengisi waktu liburan semester genap. Kurang lebih enam hari dari awal pendakian sampai selesai (perjalanan pendakian kami tidak aku ceritakan dalam tulisan di blog, melainkan sudah aku dokumentasikan dalam video yang sudah aku upload di youtube). 

Kesan pertamaku ketika menginjakkan kaki di Bandara Internasional Lombok adalah… dingiiiinnn. Ternyata benar kata temanku, Dayen, Lombok adalah suatu pulau dimana kamu akan merasakan sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari.  Dayen adalah teman sekamarku ketika kami sama-sama nge-kos. Kadang dia suka membagikan pengalamannya  selama 22 tahun hidup di Lombok. Dan dari situ aku mempunyai gambaran tentang bagaimana Lombok, sampai akhirnya benar-benar terwujud bisa berlibur ke sana.

Kami berkeliling Lombok selama sembilan hari, mulai dari Kekait kemudian menuju Gunung Rinjani, balik lagi ke Kekait kemudian menuju Pulau Kenawa kemudian lanjut lagi ke Gili sebagai tujuan akhir. Sembilan hari menjelajah Lombok, membuat aku cinta dengan pulau ini. Kalau kamu ke sana, kamu akan menemukan banyak objek wisata alam dan juga adat-istiadat di sana (syukur-syukur kalau kamu bertemu kegiatan adat bernama “nyongkolan” pasti kamu akan macet di jalan hehe, tapi setidaknya kamu bisa melihat dan memahami terkait pernikahan dan pakaian adat khas di sana). 

Senang rasanya bisa menjelajah Lombok, apalagi menggunakan mobil bak terbuka denga udara yang menururtku masih asri dan kendaraan yang lalu lalang tidak seramai seperti di Jakarta. Sepanjang perjalanan, aku hanya menemukan dua pom bensin, sepertinya memang pom bensin di Lombok itu sangat berjauhan jaraknya, tapi kalau kamu mau mencari bahan bakar eceran banyak yang jual kok hehe. 

Beberapa tahun lalu, teman kakakku, Ka Ican namanya, pernah bercerita bahwa di Lombok itu banyak masjid/ musholla (Lombok mempunyai julukan “Pulau Seribu Masjid”). Benar saja, ketika aku menyusuri Lombok, di samping kanan dan kiri dengan jarak yang tidak berjauhan, terdapat bangunan tempat beribadah umat Islam. 

Akan tetapi, info terakhir yang aku dapatkan adalah terdapat beberapa masjid yang runtuh pasca gempa, termasuk di daerah adikku berjaga. 

Foto diambil oleh Taqi pasca gempa

Adikku bernama Taqi, anak laki tertua di rumahku. Dia diutus oleh kampusnya sebagai Volunteer Gempa Lombok, nyali-nya cukup tangguh, maklum, hasil didikan mahasiswa pecinta alam katanya. Dia berangkat menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara dengan penempatan yang di koordinir dari Posko Mapala Se-Indonesia.

Taqi (baju merah) bersama temannya di Lombok International Airport

Sewaktu kejadian gempa pada 5 Agustus 2018 lalu, aku sempat berkirim pesan kepada Bang Oi terkait keadaannya, adik-adik Laskar Baca dan keluarga pasca gempa 7,0 SR, dan Bang Oi mengatakan “Alhamdulillah sehat, semua aman”. Setelah itu aku tak berkabar lagi. Beberapa hari setelah itu, adikku Taqi, mengirimkan foto bahwa dia sedang bersama Bang Joang, Bang Yaqin, dan Bang Oi bahwa mereka berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Taqi menyempatkan diri untuk sejenak bersilaturahim ke Kekait  yang merupakan tempat dulu kami singgah untuk menemui beberapa orang yang sempat kami kenal satu tahun lalu. 

Bang Joang, Bang Yaqin, Taqi dan Bang Oi

Dari segala berita, baik media cetak maupun media elektronik, dikabarkan bahwa terdapat ratusan korban jiwa yang mudah-mudahan tidak akan bertambah lagi. Semoga seluruh warga Lombok dan sekitarnya selalu berada dalam kesabaran dan keselamatan lindungan Tuhan. Dan juga seluruh volunteer baik dari segi dana maupun tenaga selalu diberi kelapangan oleh Allah dalam hal bersedekah dan menjalankan amanah. Kami berdoa untukmu, Lombok-ku.

“Tetaplah aman Lombok-ku, seperti awal aku menginjakkan kaki di Pulau-mu. Tak ada kegelisan, ketakutan dan tangisan, yang ada hanya syukur atas segala nikmat yang Engkau beri. Termasuk alam yang sangat bersahabat dan mengerti bahwa bencana yang terjadi bukan menakuti tetapi semata-mata untuk berserah diri kepada Sang Ilahi.”

Taqi dengan menggunakan seragam Mapala Universitas Moestopo

Wednesday, August 8, 2018

Bertemu dengan Keluargamu

Mungkin ini adalah kali pertama aku menceritakan pertemuanku dengan keluargamu. Dan inilah ceritanya.

Ada seorang temanmu yang datang menemuiku. Aku tak tau dia siapa, tapi yang pasti, sekelibat, aku pernah bertemu dengannya di kampus. Anggaplah aku memanggilnya Joko. Joko datang menemuiku dan dia mengatakan bahwa aku harus menemaninya untuk mencarimu, karena kata Joko, kau tidak hadir di acara organisasi sementara kehadiranmu sangat dibutuhkan. Aku tak paham mengapa Joko mengajakku yang jelas-jelas berbeda jurusan dengannya, bahkan aku juga tidak mengenal dia, hanya tau muka tapi tak tau nama.

Dan.. Pergilah aku bersama Joko ke Bandung untuk menemuimu. 

“Kamu tahu rumahnya dia?” kataku.

“Tau-lah. Dulu aku dan beberapa teman satu jurusan pernah ke rumahnya.” kata Joko.

Aku dan Joko adalah teman satu fakultas namun  berbeda jurusan, sementara Joko satu jurusan denganmu.

“Ketok saja pintunya.” kata Joko menyuruhku.

“Ih.. yang mana rumahnya? Aku kan gak tau.” kataku kesal karena disuruh-suruh dengan instruksi yang tidak jelas.

Akhirnya, aku dan Joko masuk ke satu rumah. Ada seorang ibu yang membukakan pintu, ternyata dia ibumu. Kami diizinkan masuk. Di rumah ada ibu, ayah dan.. entah siapa lagi, aku tak kenal. Ada juga fotomu menggunakan baju sarjana yang terpajang di ruang dalam.

Entah berapa lama kami saling bercerita tentangmu, hingga akhirnya aku izin ke toilet. Setelah dari toilet, ibumu menghampiriku, dan menceritakan tentang sejarah hidupmu dari kecil. Aku senang bisa mendengar cerita ibumu, seolah-olah dia sangat menyayangiku dari tatapan matanya. 

Tiba-tiba terdengar suara adzan dan aku terbangun. Aku baru menyadari kalau semua ini hanya mimpi. Aku berusaha untuk selalu mengingat mimpi ini hingga aku menuangkan cerita ini dalam blog-ku. 

Saturday, August 4, 2018

ZIDAH’s Journal: Tentang Bapak Dospem

Selasa, 31 Juli 2018

Waktu menunjukkan pukul 16.20, pertanda kampus sudah mulai sepi. Hanya ada aku dan seorang wanita yang duduk di depan ruang administrasi kampus. Sudah lima menit aku mencari ojek online dan belum dapat juga.

Tiba-tiba seorang dosen memanggilku, “Zahidah.”

Seketika aku memalingkan wajah dari telephone yang aku genggam. “Iya, Pak.” jawabku santai.

“Belum pulang?” tanya Pak Fuad.

“Belum, Pak.”

“Kamu lihat Pak Pi’i gak?” tanya Pak Fuad lagi. Sudah beberapa minggu ini aku sering melihat beliau bolak-balik ke ruang Pak Pi’i. Pak Pi’i bekerja sampingan dengan ruang kepala program studi (kaprodi), apabila ada surat yang ingin diurus, maka bisa berhadapan langsung dengan Pak Pi’i.

“Kurang tau, Pak. Mungkin di ruang admin.”

Pak Fuad berjalan menuju ruang admin, dan beberapa menit kemudian keluar lagi dan menuju tempat absen elektronik.

“Gak ada, Pak?” tanyaku yang berada kurang lebih empat meter dari Pak Fuad.

“Udah pulang kayanya.”

“Iya. Udah sore juga.”

“Ya sudah, Bapak balik ya. Semoga lancar profesinya.

Aku hanya menjawab dua kata, “Iya, Pak.”

Setelah itu beliau pergi dan tak terlihat lagi, yang tertinggal hanya jejak kaki beliau yang sewaktu-waktu akan menghilang karena tersapu oleh angin yang berhembus.

Siang hari, beberapa jam sebelum beliau pergi, aku dan Dita (teman se-per-dospem-an Pak Fuad) berbincang mengenai penelitian kami yang akan dimuat dalam bentuk jurnal untuk di publish. Karena aku rasa perbincanganku pada siang itu cukup, maka aku pamit dengan beliau untuk melanjutkan praktikum mandiri pemasangan infus dan lainnya.

Aku tidak tahu kalau ternyata hari itu adalah hari terakhir beliau berada di kampusku. Kalau aku dan teman-temanku tahu, pasti kami akan banyak berbicara sebelum akhirnya beliau memutuskan untuk pergi, setidaknya kami akan mengucapkan tanda terimakasih dan ucapan perpisahan.

Sebelumnya, aku dan beberapa temanku sudah tahu bahwa beliau akan resign, tapi kami pikir, beliau akan berubah pikiran dan tetap akan mengajar. Tetapi ternyata tidak. Setiap orang mempunyai pilihan hidup, dan itu adalah pilihan beliau. Terlepas dari pilihan itu baik atau tidak. Tapi yang pasti, aku yakin, beliau sudah mempertimbangkan dengan sangat matang.

"Untuk melihat sesuatu yang terbaik, maka jangan hanya melihat dari satu sisi, lihatlah dari segala sisi, dan kamu akan memahami, bahwa kamu sudah berusaha memilih yang terbaik, dengan begitu semua akan baik-baik saja."

Meski aku dan teman-temanku tak bisa memberikan ucapan terimakasih ataupun salam perpisahan secara langsung, namun kami masih dapat mengucapkan melalui whatsapp.

Rasanya, baru sebentar kami berkenalan.
Namun, sudah banyak ilmu yang beliau tularkan.
Dan kini, kami merasa kehilangan sosok dosen dengan berjuta keilmuan yang membanggakan.
Terimakasih sudah menjadi dosen terbaik bagi kami.
Kami berdo’a, semoga Bapak sukses dalam karir serta bahagia duniawi dan ukhrowi.

Btw, aku tulis ini karena beliau mempunyai andil besar dalam skripsi-ku, dan  karena sudah beberapa bulan ini aku intens dibimbing skripsi oleh beliau, dengan segala problematika yang terjadi beliau selalu support. Mungkin untuk teman-teman yang juga skripsinya dibimbing oleh beliau  pasti merasakan hal yang sama, yakni  “kehilangan”.

Ada hal yang aku ingat ketika bimbingan. Beliau bertanya “Kalian sidang hasil bulan apa? Saya akan resign setelah semua anak bimbingan saya sudah selesai sidang hasilnya”. Itu adalah salah satu bentuk tanggung jawab beliau yang luar biasa, dan masih banyak yang lainnya, yang tak bisa diceritakan secara rinci.

Sudah, segini aja ceritanya. ^_^

Semoga segala yang terbaik untuk beliau. Aamiin..

Monday, June 4, 2018

PBSB


ZIDAH’s Journal: Tentang Seleksi PBSB

Empat tahun yang lalu, tepatnya tahun 2014. Aku mengikuti sebuah seleksi yang diadakan oleh salah satu kementrian negeri ini, Kementrian Agama. Seleksi yang diperuntukan bagi santri di seluruh Indonesia. Aku bukanlah santri tetap yang tinggal pada sebuah pondok pesantren karena di sekolahku hanya ada pesantren khusus laki-laki, jadi bisa dibilang wanita yang bersekolah di pondok ku disebut ‘santri kalong’ (santri yang belajar di pesantren namun tidak tinggal di pesantren yang bersangkutan).

Tiga tahun aku menempuh pendidikan di sebuah Madrasah Aliyah di Jakarta. Mungkin beberapa orang berpikir bersekolah bukan di SMA Negeri akan membuat tertinggal dari segi pendidikan. Ya.. wajar-wajar saja mereka berpendapat seperti itu. Toh negeri ini adalah negara demokratis, semuanya bebas berpendapat (tapi salah-salah berpendapat maka bisa dipenjara!). Tapi, pendapatku akan hal ini tidak selamanya benar.

Lanjut ke pengalaman seumur hidup sekali ini!

Ada rasa ingin mengikuti seleksi ini, namun lebih besar rasa enggan. Saat aku mengatakan kepada keluargaku bahwa ada seleksi untuk masuk perguruan tinggi negeri yang di adakan oleh Kementrian Agama, semua berpendapat “ikut saja”. Namun aku tetap tidak yakin untuk ikut. Hingga akhirnya, kakak sulungku mengatakan “Kita gak akan pernah tau kalau kita belum pernah mencoba”. Thats! Aku harus mencoba dulu, diterima atau tidaknya urursan belakangan.

Oke, aku coba mengikuti seleksi tersebut. Segala lika-liku pendaftaran yang dramatis menguras air mata, batin, dan energi sudah aku hadapi; mulai dari di tolak mendaftar (pihak yang bersangkutan mengatakan waktu pendaftarannya sudah habis, padahal masih tersisa kurang lebih dua jam lagi untuk mendaftar), curhat sampai menangis di depan guru karena tak bisa mendaftar, dan perihal lainnya yang tak perlu diceritakan bagaimana menyedihkannya. Mengingat hal buruk itu menyakitkan! Tak ada gunanya berbalik waktu yang hanya akan menyisakan sendu. Aku tak akan membahas lebih panjang tentang itu.

Singkat cerita, aku dan ketiga teman luar biasaku bisa mengikuti seleksi tersebut. Kami datang lebih pagi dari pada yang lain, karena takut terlambat (lagi). Satu persatu peserta sudah mulai memenuhi kursi, mereka sibuk membahas buku bimbel mereka. Sementara aku, hanya belajar dari buku pinjaman guru les private matematika-ku, Bang Ipul namanya (beliau guru yang sangat berkompeten, coba saja hadapkan pada soal tersulit, pasti bisa dijawab).

Oke, lanjut!

Soal seleksi pada tahunku berbeda dengan tahun ini. Kalau di tahun ini menggunakan CBT dengan soal yang masih lebih sedikit dibanding tahun 2014 lalu. Pada tahunku, peserta harus mengerjakan ratusan butir soal (kalau tidak salah sekitar 300 soal) yang dikerjakan dari pukul 08.00 pagi hingga 17.30 dengan waktu istirahat dari satu soal ke soal lainnya ±5-10 menit dan jeda istirahat soal dzuhur ±30 menit. Bisa dibayangkan bagaimana berkunang-kunangnya melihat kertas putih yang isinya hanya teks soal. Saat mengerjakan, yang terlintas bukanlah “Bagaimana caranya agar jawabanku banyak yang benar agar dapat lolos”, namun “Bagaimana caranya aku dapat melingkari jawaban ini, terlepas dari benar atau salah, yang penting cepat selesai”. 

Bulan pun berganti.

Saatnya pengumuman. Berdasarkan sumber informasi yang aku dapatkan, ada sekitar 6.000 santri yang mendaftar dari seluruh penjuru Indonesia, dan hanya ±200 santri yang diterima di beberapa perguruan tinggi negeri ini. 

Jujur, pada saat selesai tes sampai saat detik-detik pengumuman, aku tak berdo’a pada Tuhan agar aku di loloskan dalam seleksi tersebut, karena aku berpikir, jika aku lolos, maka aku tak memiliki kemampuan berada pada jurusan yang aku pilih. Pada saat itu, pilihan pertama ku Ilmu Keperawatan UIN Jakarta, dan pilihan kedua Pendidikan Dokter UIN Jakarta. Aku hanya berdo’a pada saat sujud “agar aku diberikan jalan yang terbaik” (dulu waktu sekolah diajarkan bahwa sujud adalah posisi hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka pada posisi tersebut aku selipkan do’a ku).

Hingga waktu pengumuman-pun tiba.

Aku tak menanti hari itu karena aku takut. Dan akhirnya, aku benar-benar tak tahu bahwa hari itu adalah hari pengumuman. Aku tak memikirkan pengumuman karena aku sedang disibukkan dengan bimtes untuk masuk perguruan tinggi negeri di Ciputat. Aku tak yakin akan lolos seleksi sehingga aku harus mencari cara agar aku tetap bisa masuk perguruan tinggi negeri. Dan ikut bimbingan tes selama tiga hari adalah salah satu ikhtiyarku agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri.

Siang hari sepulangnya aku bimtes, aku tidir siang, dan buya tiba-tiba membangunkanku. 

“Jid.. Jidah.. Bangun.. Selamat ya” kata buya sambil membangunkan dengan mengoyak-ngoyak lembut kakiku. 

“Emm..” kataku masih memejamkan mata.

“Selamat ya kamu lolos.” nada bicara buya bahagia.

Yang ada dipikiranku saat mendengarkan kalimat itu bukanlah “Nanti kuliah di sana dengan biaya dari pemerintah gimana ya?” atau “Emm.. nanti akan dapat uang jajan tambahan setaip bulannya”, namun “Apakah ketiga temanku juga lolos”. Seketika aku langsung bertanya kepada buya tentang hal itu.

Buya adalah sebutan ku untuk ayah kandung di ruamhku. Buya mengajar di sekolah ku, Madrasah Aliyah Al-Falah. Jadi buya tau mengenai beberapa hal terkait pengumuman-pengumuman yang ada di sekolah, termasuk pengumuman lolos seleksi. Oh ya, aku belum mengatakan bahwa nama seleksinya adalah Program B------- Santri B---------- (PBSB). 

Alhamdulillah, ternyata ada satu temanku yang juga lolos, dengan jurusan yang sama denganku, namanya Shova. Sampai saat ini, aku masih bingung mengapa aku dapat diterima di sini. Aku bukan anak pandai yang selalu mendapatkan juara di kelas. Mungkin benar orang bilang “Orang pandai akan kalah dengan orang beruntung”. Dan sepertinya, ini adalah sebuah keberuntungan. Tapi bukan semata-mata beruntung karena Hoki, melainkan ini adalah karena do’a orang-orang disekitarku.


Ciputat, 4 Juni 2018
dalam rangka pengumuman PBSB 2018

Friday, May 11, 2018

ZIDAH’s Journal: Tentang Putri Keperawata

ZIDAH’s Journal: Tentang Putri Keperawatan

Sumber: Official Account Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
 
Angka dalam kalender telah berputar sebanyak 365 kali. Tepat 1 tahun yang lalu, teringat kembali kisah seorang gadis yang mencoba peruntungannya dalam ajang pemilihan Putri Keperawatan UIN Jakarta 2017. Gadis yang tak dapat berbicara di depan umum walaupun terkadang ia mempunyai pemikiran akan suatu hal, ia hanya menyimpan pemikirannya dalam benak, karena menurutnya “bukan sebuah kebutuhan menjadi manusia vokal agar terlihat, namun sebuah keinginan menjadi manusia pemikir dengan hasil yang dapat dinikmat”. Gadis berumur 21 tahun itu berusaha memadukan keduanya, karena agar hasil pemikirannya dapat dilihat maka butuh vokal yang baik agar dapat didengar. Kali ini, gadis tersebut ditantang agar berani mengungkapkan pemikirannya melalui esai yang dipresentasikan dalam ajang tersebut “tentang makna solidaritas”. 

Gadis itu adalah aku!

Aku memulai ceritaku dari sebuah ketidakyakinan. Dulu, ketika aku melihat adik kelasku menjadi peserta dalam ajang ini (tahun 2016), aku mengatakan bahwa “Aku tidak akan mungkin sepertinya, karena aku bukan orang hebat yang mampu presentasi dan menjawab pertanyaan secara lisan layaknya miss Indonesia atau miss-miss apapun itu yang ada di televisi. Aku bukan orang yang cukup berani, hanya berani berbagi melalui tulisan. Hanya itu”. Tapi ternyata, percaya atau tidak, 

ketika seseorang merendahkan dirinya sendiri dengan segala kekurangan, maka dalam ketidaksadarannya, ia sedang menantang dirinya agar mampu menjadi yang lebih baik dari apa yang ia fikirkan”
Yaa.. aku membuktikan kalimat itu. Ketika aku berfikir bahwa aku adalah manusia yang paling rendah dengan segala kekuranganku, maka secara tidak langsung aku berusaha membuktikan pada diriku sendiri  bahwa aku tidak serendah yang aku pikirkan, mungkin saja aku bisa lebih dari orang lain, namun aku-nya saja yang tidak pernah mau membuktikan pada diriku sendiri. Dan saat ini, aku berhasil menantang dan membuktikan pada diriku bahwa aku dapat mengalahkan ketidakyakinan berbicara di depan umum.  Singkat cerita, Alhamdulillah, gadis penakut tersebut terpilih sebagai Putri Keperawatan UIN Jakarta 2017. 
 
Kisahku secara lengkap tentang Putri Keperawatan UIN Jakarta 2017 sudah aku tulisakan dalam buku Santri Pejuang Mimpi yang diterbitkan oleh CSSMoRA Nasional. Dalam buku tersebut aku mengisahkan diriku “tentang makna kegagalan”. Mungkin akan aku tulisakan pada postingan berikutnya tentang bahagiaku ketika namaku terpilih sebagai kontributor pada buku tersebut. 

Mei, 2018