Thursday, August 9, 2018

Zidah’s Journey: Tentang Lombok

Tahun 2017, aku, kakak, adik dan beberapa teman pergi ke Lombok dengan tujuan mendaki Gunung Rinjani untuk mengisi waktu liburan semester genap. Kurang lebih enam hari dari awal pendakian sampai selesai (perjalanan pendakian kami tidak aku ceritakan dalam tulisan di blog, melainkan sudah aku dokumentasikan dalam video yang sudah aku upload di youtube). 

Kesan pertamaku ketika menginjakkan kaki di Bandara Internasional Lombok adalah… dingiiiinnn. Ternyata benar kata temanku, Dayen, Lombok adalah suatu pulau dimana kamu akan merasakan sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari.  Dayen adalah teman sekamarku ketika kami sama-sama nge-kos. Kadang dia suka membagikan pengalamannya  selama 22 tahun hidup di Lombok. Dan dari situ aku mempunyai gambaran tentang bagaimana Lombok, sampai akhirnya benar-benar terwujud bisa berlibur ke sana.

Kami berkeliling Lombok selama sembilan hari, mulai dari Kekait kemudian menuju Gunung Rinjani, balik lagi ke Kekait kemudian menuju Pulau Kenawa kemudian lanjut lagi ke Gili sebagai tujuan akhir. Sembilan hari menjelajah Lombok, membuat aku cinta dengan pulau ini. Kalau kamu ke sana, kamu akan menemukan banyak objek wisata alam dan juga adat-istiadat di sana (syukur-syukur kalau kamu bertemu kegiatan adat bernama “nyongkolan” pasti kamu akan macet di jalan hehe, tapi setidaknya kamu bisa melihat dan memahami terkait pernikahan dan pakaian adat khas di sana). 

Senang rasanya bisa menjelajah Lombok, apalagi menggunakan mobil bak terbuka denga udara yang menururtku masih asri dan kendaraan yang lalu lalang tidak seramai seperti di Jakarta. Sepanjang perjalanan, aku hanya menemukan dua pom bensin, sepertinya memang pom bensin di Lombok itu sangat berjauhan jaraknya, tapi kalau kamu mau mencari bahan bakar eceran banyak yang jual kok hehe. 

Beberapa tahun lalu, teman kakakku, Ka Ican namanya, pernah bercerita bahwa di Lombok itu banyak masjid/ musholla (Lombok mempunyai julukan “Pulau Seribu Masjid”). Benar saja, ketika aku menyusuri Lombok, di samping kanan dan kiri dengan jarak yang tidak berjauhan, terdapat bangunan tempat beribadah umat Islam. 

Akan tetapi, info terakhir yang aku dapatkan adalah terdapat beberapa masjid yang runtuh pasca gempa, termasuk di daerah adikku berjaga. 

Foto diambil oleh Taqi pasca gempa

Adikku bernama Taqi, anak laki tertua di rumahku. Dia diutus oleh kampusnya sebagai Volunteer Gempa Lombok, nyali-nya cukup tangguh, maklum, hasil didikan mahasiswa pecinta alam katanya. Dia berangkat menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara dengan penempatan yang di koordinir dari Posko Mapala Se-Indonesia.

Taqi (baju merah) bersama temannya di Lombok International Airport

Sewaktu kejadian gempa pada 5 Agustus 2018 lalu, aku sempat berkirim pesan kepada Bang Oi terkait keadaannya, adik-adik Laskar Baca dan keluarga pasca gempa 7,0 SR, dan Bang Oi mengatakan “Alhamdulillah sehat, semua aman”. Setelah itu aku tak berkabar lagi. Beberapa hari setelah itu, adikku Taqi, mengirimkan foto bahwa dia sedang bersama Bang Joang, Bang Yaqin, dan Bang Oi bahwa mereka berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Taqi menyempatkan diri untuk sejenak bersilaturahim ke Kekait  yang merupakan tempat dulu kami singgah untuk menemui beberapa orang yang sempat kami kenal satu tahun lalu. 

Bang Joang, Bang Yaqin, Taqi dan Bang Oi

Dari segala berita, baik media cetak maupun media elektronik, dikabarkan bahwa terdapat ratusan korban jiwa yang mudah-mudahan tidak akan bertambah lagi. Semoga seluruh warga Lombok dan sekitarnya selalu berada dalam kesabaran dan keselamatan lindungan Tuhan. Dan juga seluruh volunteer baik dari segi dana maupun tenaga selalu diberi kelapangan oleh Allah dalam hal bersedekah dan menjalankan amanah. Kami berdoa untukmu, Lombok-ku.

“Tetaplah aman Lombok-ku, seperti awal aku menginjakkan kaki di Pulau-mu. Tak ada kegelisan, ketakutan dan tangisan, yang ada hanya syukur atas segala nikmat yang Engkau beri. Termasuk alam yang sangat bersahabat dan mengerti bahwa bencana yang terjadi bukan menakuti tetapi semata-mata untuk berserah diri kepada Sang Ilahi.”

Taqi dengan menggunakan seragam Mapala Universitas Moestopo

Wednesday, August 8, 2018

Bertemu dengan Keluargamu

Mungkin ini adalah kali pertama aku menceritakan pertemuanku dengan keluargamu. Dan inilah ceritanya.

Ada seorang temanmu yang datang menemuiku. Aku tak tau dia siapa, tapi yang pasti, sekelibat, aku pernah bertemu dengannya di kampus. Anggaplah aku memanggilnya Joko. Joko datang menemuiku dan dia mengatakan bahwa aku harus menemaninya untuk mencarimu, karena kata Joko, kau tidak hadir di acara organisasi sementara kehadiranmu sangat dibutuhkan. Aku tak paham mengapa Joko mengajakku yang jelas-jelas berbeda jurusan dengannya, bahkan aku juga tidak mengenal dia, hanya tau muka tapi tak tau nama.

Dan.. Pergilah aku bersama Joko ke Bandung untuk menemuimu. 

“Kamu tahu rumahnya dia?” kataku.

“Tau-lah. Dulu aku dan beberapa teman satu jurusan pernah ke rumahnya.” kata Joko.

Aku dan Joko adalah teman satu fakultas namun  berbeda jurusan, sementara Joko satu jurusan denganmu.

“Ketok saja pintunya.” kata Joko menyuruhku.

“Ih.. yang mana rumahnya? Aku kan gak tau.” kataku kesal karena disuruh-suruh dengan instruksi yang tidak jelas.

Akhirnya, aku dan Joko masuk ke satu rumah. Ada seorang ibu yang membukakan pintu, ternyata dia ibumu. Kami diizinkan masuk. Di rumah ada ibu, ayah dan.. entah siapa lagi, aku tak kenal. Ada juga fotomu menggunakan baju sarjana yang terpajang di ruang dalam.

Entah berapa lama kami saling bercerita tentangmu, hingga akhirnya aku izin ke toilet. Setelah dari toilet, ibumu menghampiriku, dan menceritakan tentang sejarah hidupmu dari kecil. Aku senang bisa mendengar cerita ibumu, seolah-olah dia sangat menyayangiku dari tatapan matanya. 

Tiba-tiba terdengar suara adzan dan aku terbangun. Aku baru menyadari kalau semua ini hanya mimpi. Aku berusaha untuk selalu mengingat mimpi ini hingga aku menuangkan cerita ini dalam blog-ku. 

Saturday, August 4, 2018

ZIDAH’s Journal: Tentang Bapak Dospem

Selasa, 31 Juli 2018

Waktu menunjukkan pukul 16.20, pertanda kampus sudah mulai sepi. Hanya ada aku dan seorang wanita yang duduk di depan ruang administrasi kampus. Sudah lima menit aku mencari ojek online dan belum dapat juga.

Tiba-tiba seorang dosen memanggilku, “Zahidah.”

Seketika aku memalingkan wajah dari telephone yang aku genggam. “Iya, Pak.” jawabku santai.

“Belum pulang?” tanya Pak Fuad.

“Belum, Pak.”

“Kamu lihat Pak Pi’i gak?” tanya Pak Fuad lagi. Sudah beberapa minggu ini aku sering melihat beliau bolak-balik ke ruang Pak Pi’i. Pak Pi’i bekerja sampingan dengan ruang kepala program studi (kaprodi), apabila ada surat yang ingin diurus, maka bisa berhadapan langsung dengan Pak Pi’i.

“Kurang tau, Pak. Mungkin di ruang admin.”

Pak Fuad berjalan menuju ruang admin, dan beberapa menit kemudian keluar lagi dan menuju tempat absen elektronik.

“Gak ada, Pak?” tanyaku yang berada kurang lebih empat meter dari Pak Fuad.

“Udah pulang kayanya.”

“Iya. Udah sore juga.”

“Ya sudah, Bapak balik ya. Semoga lancar profesinya.

Aku hanya menjawab dua kata, “Iya, Pak.”

Setelah itu beliau pergi dan tak terlihat lagi, yang tertinggal hanya jejak kaki beliau yang sewaktu-waktu akan menghilang karena tersapu oleh angin yang berhembus.

Siang hari, beberapa jam sebelum beliau pergi, aku dan Dita (teman se-per-dospem-an Pak Fuad) berbincang mengenai penelitian kami yang akan dimuat dalam bentuk jurnal untuk di publish. Karena aku rasa perbincanganku pada siang itu cukup, maka aku pamit dengan beliau untuk melanjutkan praktikum mandiri pemasangan infus dan lainnya.

Aku tidak tahu kalau ternyata hari itu adalah hari terakhir beliau berada di kampusku. Kalau aku dan teman-temanku tahu, pasti kami akan banyak berbicara sebelum akhirnya beliau memutuskan untuk pergi, setidaknya kami akan mengucapkan tanda terimakasih dan ucapan perpisahan.

Sebelumnya, aku dan beberapa temanku sudah tahu bahwa beliau akan resign, tapi kami pikir, beliau akan berubah pikiran dan tetap akan mengajar. Tetapi ternyata tidak. Setiap orang mempunyai pilihan hidup, dan itu adalah pilihan beliau. Terlepas dari pilihan itu baik atau tidak. Tapi yang pasti, aku yakin, beliau sudah mempertimbangkan dengan sangat matang.

"Untuk melihat sesuatu yang terbaik, maka jangan hanya melihat dari satu sisi, lihatlah dari segala sisi, dan kamu akan memahami, bahwa kamu sudah berusaha memilih yang terbaik, dengan begitu semua akan baik-baik saja."

Meski aku dan teman-temanku tak bisa memberikan ucapan terimakasih ataupun salam perpisahan secara langsung, namun kami masih dapat mengucapkan melalui whatsapp.

Rasanya, baru sebentar kami berkenalan.
Namun, sudah banyak ilmu yang beliau tularkan.
Dan kini, kami merasa kehilangan sosok dosen dengan berjuta keilmuan yang membanggakan.
Terimakasih sudah menjadi dosen terbaik bagi kami.
Kami berdo’a, semoga Bapak sukses dalam karir serta bahagia duniawi dan ukhrowi.

Btw, aku tulis ini karena beliau mempunyai andil besar dalam skripsi-ku, dan  karena sudah beberapa bulan ini aku intens dibimbing skripsi oleh beliau, dengan segala problematika yang terjadi beliau selalu support. Mungkin untuk teman-teman yang juga skripsinya dibimbing oleh beliau  pasti merasakan hal yang sama, yakni  “kehilangan”.

Ada hal yang aku ingat ketika bimbingan. Beliau bertanya “Kalian sidang hasil bulan apa? Saya akan resign setelah semua anak bimbingan saya sudah selesai sidang hasilnya”. Itu adalah salah satu bentuk tanggung jawab beliau yang luar biasa, dan masih banyak yang lainnya, yang tak bisa diceritakan secara rinci.

Sudah, segini aja ceritanya. ^_^

Semoga segala yang terbaik untuk beliau. Aamiin..