ZIDAH’s Journal:
Tentang Seleksi PBSB
Empat tahun yang lalu, tepatnya
tahun 2014. Aku mengikuti sebuah seleksi yang diadakan oleh salah satu
kementrian negeri ini, Kementrian Agama. Seleksi yang diperuntukan bagi santri
di seluruh Indonesia. Aku bukanlah santri tetap yang tinggal pada sebuah pondok
pesantren karena di sekolahku hanya ada pesantren khusus laki-laki, jadi bisa
dibilang wanita yang bersekolah di pondok ku disebut ‘santri kalong’ (santri
yang belajar di pesantren namun tidak tinggal di pesantren yang bersangkutan).
Tiga tahun aku menempuh
pendidikan di sebuah Madrasah Aliyah di Jakarta. Mungkin beberapa orang berpikir
bersekolah bukan di SMA Negeri akan membuat tertinggal dari segi pendidikan.
Ya.. wajar-wajar saja mereka berpendapat seperti itu. Toh negeri ini adalah
negara demokratis, semuanya bebas berpendapat (tapi salah-salah berpendapat
maka bisa dipenjara!). Tapi, pendapatku akan hal ini tidak selamanya benar.
Lanjut ke pengalaman seumur hidup
sekali ini!
Ada rasa ingin mengikuti seleksi
ini, namun lebih besar rasa enggan. Saat aku mengatakan kepada keluargaku bahwa
ada seleksi untuk masuk perguruan tinggi negeri yang di adakan oleh Kementrian
Agama, semua berpendapat “ikut saja”. Namun aku tetap tidak yakin untuk ikut.
Hingga akhirnya, kakak sulungku mengatakan “Kita gak akan pernah tau kalau kita
belum pernah mencoba”. Thats! Aku harus mencoba dulu, diterima atau tidaknya
urursan belakangan.
Oke, aku coba mengikuti seleksi
tersebut. Segala lika-liku pendaftaran yang dramatis menguras air mata, batin,
dan energi sudah aku hadapi; mulai dari di tolak mendaftar (pihak yang bersangkutan mengatakan waktu pendaftarannya sudah habis, padahal masih tersisa kurang lebih dua jam lagi untuk
mendaftar), curhat sampai menangis di depan guru karena tak bisa mendaftar, dan
perihal lainnya yang tak perlu diceritakan bagaimana menyedihkannya. Mengingat
hal buruk itu menyakitkan! Tak ada gunanya berbalik waktu yang hanya akan menyisakan sendu. Aku tak akan membahas lebih panjang tentang
itu.
Singkat cerita, aku dan ketiga
teman luar biasaku bisa mengikuti seleksi tersebut. Kami datang lebih pagi dari
pada yang lain, karena takut terlambat (lagi). Satu persatu peserta sudah mulai
memenuhi kursi, mereka sibuk membahas buku bimbel mereka. Sementara aku, hanya
belajar dari buku pinjaman guru les private matematika-ku, Bang Ipul namanya (beliau
guru yang sangat berkompeten, coba saja hadapkan pada soal tersulit, pasti bisa
dijawab).
Oke, lanjut!
Soal seleksi pada tahunku berbeda
dengan tahun ini. Kalau di tahun ini menggunakan CBT dengan soal yang masih
lebih sedikit dibanding tahun 2014 lalu. Pada tahunku, peserta harus mengerjakan
ratusan butir soal (kalau tidak salah sekitar 300 soal) yang dikerjakan dari pukul 08.00 pagi hingga 17.30 dengan waktu istirahat
dari satu soal ke soal lainnya ±5-10 menit dan jeda istirahat soal dzuhur ±30 menit.
Bisa dibayangkan bagaimana berkunang-kunangnya melihat kertas putih yang isinya
hanya teks soal. Saat mengerjakan, yang terlintas bukanlah “Bagaimana caranya
agar jawabanku banyak yang benar agar dapat lolos”, namun “Bagaimana caranya
aku dapat melingkari jawaban ini, terlepas dari benar atau salah, yang penting
cepat selesai”.
Bulan pun berganti.
Saatnya pengumuman. Berdasarkan
sumber informasi yang aku dapatkan, ada sekitar 6.000 santri yang mendaftar dari seluruh
penjuru Indonesia, dan hanya ±200 santri yang diterima di beberapa perguruan tinggi negeri ini.
Jujur, pada saat selesai tes
sampai saat detik-detik pengumuman, aku tak berdo’a pada Tuhan agar aku di
loloskan dalam seleksi tersebut, karena aku berpikir, jika aku lolos, maka aku
tak memiliki kemampuan berada pada jurusan yang aku pilih. Pada saat itu, pilihan
pertama ku Ilmu Keperawatan UIN Jakarta, dan pilihan kedua Pendidikan Dokter
UIN Jakarta. Aku hanya berdo’a pada saat sujud “agar aku diberikan
jalan yang terbaik” (dulu waktu sekolah diajarkan bahwa sujud adalah posisi
hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka pada posisi tersebut aku selipkan
do’a ku).
Hingga waktu pengumuman-pun tiba.
Aku tak menanti hari itu karena
aku takut. Dan akhirnya, aku benar-benar tak tahu bahwa hari itu adalah hari
pengumuman. Aku tak memikirkan pengumuman karena aku sedang disibukkan dengan
bimtes untuk masuk perguruan tinggi negeri di Ciputat. Aku tak yakin akan lolos
seleksi sehingga aku harus mencari cara agar aku tetap bisa masuk perguruan
tinggi negeri. Dan ikut bimbingan tes selama tiga hari adalah salah satu ikhtiyarku agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri.
Siang hari sepulangnya aku
bimtes, aku tidir siang, dan buya tiba-tiba membangunkanku.
“Jid.. Jidah.. Bangun.. Selamat
ya” kata buya sambil membangunkan dengan mengoyak-ngoyak lembut kakiku.
“Emm..” kataku masih memejamkan
mata.
“Selamat ya kamu lolos.” nada
bicara buya bahagia.
Yang ada dipikiranku saat mendengarkan
kalimat itu bukanlah “Nanti kuliah di sana dengan biaya dari pemerintah gimana
ya?” atau “Emm.. nanti akan dapat uang jajan tambahan setaip bulannya”, namun “Apakah
ketiga temanku juga lolos”. Seketika aku langsung bertanya kepada buya tentang
hal itu.
Buya adalah sebutan ku untuk ayah
kandung di ruamhku. Buya mengajar di sekolah ku, Madrasah Aliyah Al-Falah. Jadi
buya tau mengenai beberapa hal terkait pengumuman-pengumuman yang ada di
sekolah, termasuk pengumuman lolos seleksi. Oh ya, aku belum mengatakan bahwa
nama seleksinya adalah Program B------- Santri B---------- (PBSB).
Alhamdulillah, ternyata ada satu
temanku yang juga lolos, dengan jurusan yang sama denganku, namanya Shova.
Sampai saat ini, aku masih bingung mengapa aku dapat diterima di sini. Aku
bukan anak pandai yang selalu mendapatkan juara di kelas. Mungkin benar orang
bilang “Orang pandai akan kalah dengan orang beruntung”. Dan sepertinya, ini
adalah sebuah keberuntungan. Tapi bukan semata-mata beruntung karena Hoki,
melainkan ini adalah karena do’a orang-orang disekitarku.
Ciputat, 4 Juni 2018
dalam rangka pengumuman PBSB 2018
No comments:
Post a Comment