Monday, June 4, 2018

PBSB


ZIDAH’s Journal: Tentang Seleksi PBSB

Empat tahun yang lalu, tepatnya tahun 2014. Aku mengikuti sebuah seleksi yang diadakan oleh salah satu kementrian negeri ini, Kementrian Agama. Seleksi yang diperuntukan bagi santri di seluruh Indonesia. Aku bukanlah santri tetap yang tinggal pada sebuah pondok pesantren karena di sekolahku hanya ada pesantren khusus laki-laki, jadi bisa dibilang wanita yang bersekolah di pondok ku disebut ‘santri kalong’ (santri yang belajar di pesantren namun tidak tinggal di pesantren yang bersangkutan).

Tiga tahun aku menempuh pendidikan di sebuah Madrasah Aliyah di Jakarta. Mungkin beberapa orang berpikir bersekolah bukan di SMA Negeri akan membuat tertinggal dari segi pendidikan. Ya.. wajar-wajar saja mereka berpendapat seperti itu. Toh negeri ini adalah negara demokratis, semuanya bebas berpendapat (tapi salah-salah berpendapat maka bisa dipenjara!). Tapi, pendapatku akan hal ini tidak selamanya benar.

Lanjut ke pengalaman seumur hidup sekali ini!

Ada rasa ingin mengikuti seleksi ini, namun lebih besar rasa enggan. Saat aku mengatakan kepada keluargaku bahwa ada seleksi untuk masuk perguruan tinggi negeri yang di adakan oleh Kementrian Agama, semua berpendapat “ikut saja”. Namun aku tetap tidak yakin untuk ikut. Hingga akhirnya, kakak sulungku mengatakan “Kita gak akan pernah tau kalau kita belum pernah mencoba”. Thats! Aku harus mencoba dulu, diterima atau tidaknya urursan belakangan.

Oke, aku coba mengikuti seleksi tersebut. Segala lika-liku pendaftaran yang dramatis menguras air mata, batin, dan energi sudah aku hadapi; mulai dari di tolak mendaftar (pihak yang bersangkutan mengatakan waktu pendaftarannya sudah habis, padahal masih tersisa kurang lebih dua jam lagi untuk mendaftar), curhat sampai menangis di depan guru karena tak bisa mendaftar, dan perihal lainnya yang tak perlu diceritakan bagaimana menyedihkannya. Mengingat hal buruk itu menyakitkan! Tak ada gunanya berbalik waktu yang hanya akan menyisakan sendu. Aku tak akan membahas lebih panjang tentang itu.

Singkat cerita, aku dan ketiga teman luar biasaku bisa mengikuti seleksi tersebut. Kami datang lebih pagi dari pada yang lain, karena takut terlambat (lagi). Satu persatu peserta sudah mulai memenuhi kursi, mereka sibuk membahas buku bimbel mereka. Sementara aku, hanya belajar dari buku pinjaman guru les private matematika-ku, Bang Ipul namanya (beliau guru yang sangat berkompeten, coba saja hadapkan pada soal tersulit, pasti bisa dijawab).

Oke, lanjut!

Soal seleksi pada tahunku berbeda dengan tahun ini. Kalau di tahun ini menggunakan CBT dengan soal yang masih lebih sedikit dibanding tahun 2014 lalu. Pada tahunku, peserta harus mengerjakan ratusan butir soal (kalau tidak salah sekitar 300 soal) yang dikerjakan dari pukul 08.00 pagi hingga 17.30 dengan waktu istirahat dari satu soal ke soal lainnya ±5-10 menit dan jeda istirahat soal dzuhur ±30 menit. Bisa dibayangkan bagaimana berkunang-kunangnya melihat kertas putih yang isinya hanya teks soal. Saat mengerjakan, yang terlintas bukanlah “Bagaimana caranya agar jawabanku banyak yang benar agar dapat lolos”, namun “Bagaimana caranya aku dapat melingkari jawaban ini, terlepas dari benar atau salah, yang penting cepat selesai”. 

Bulan pun berganti.

Saatnya pengumuman. Berdasarkan sumber informasi yang aku dapatkan, ada sekitar 6.000 santri yang mendaftar dari seluruh penjuru Indonesia, dan hanya ±200 santri yang diterima di beberapa perguruan tinggi negeri ini. 

Jujur, pada saat selesai tes sampai saat detik-detik pengumuman, aku tak berdo’a pada Tuhan agar aku di loloskan dalam seleksi tersebut, karena aku berpikir, jika aku lolos, maka aku tak memiliki kemampuan berada pada jurusan yang aku pilih. Pada saat itu, pilihan pertama ku Ilmu Keperawatan UIN Jakarta, dan pilihan kedua Pendidikan Dokter UIN Jakarta. Aku hanya berdo’a pada saat sujud “agar aku diberikan jalan yang terbaik” (dulu waktu sekolah diajarkan bahwa sujud adalah posisi hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka pada posisi tersebut aku selipkan do’a ku).

Hingga waktu pengumuman-pun tiba.

Aku tak menanti hari itu karena aku takut. Dan akhirnya, aku benar-benar tak tahu bahwa hari itu adalah hari pengumuman. Aku tak memikirkan pengumuman karena aku sedang disibukkan dengan bimtes untuk masuk perguruan tinggi negeri di Ciputat. Aku tak yakin akan lolos seleksi sehingga aku harus mencari cara agar aku tetap bisa masuk perguruan tinggi negeri. Dan ikut bimbingan tes selama tiga hari adalah salah satu ikhtiyarku agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri.

Siang hari sepulangnya aku bimtes, aku tidir siang, dan buya tiba-tiba membangunkanku. 

“Jid.. Jidah.. Bangun.. Selamat ya” kata buya sambil membangunkan dengan mengoyak-ngoyak lembut kakiku. 

“Emm..” kataku masih memejamkan mata.

“Selamat ya kamu lolos.” nada bicara buya bahagia.

Yang ada dipikiranku saat mendengarkan kalimat itu bukanlah “Nanti kuliah di sana dengan biaya dari pemerintah gimana ya?” atau “Emm.. nanti akan dapat uang jajan tambahan setaip bulannya”, namun “Apakah ketiga temanku juga lolos”. Seketika aku langsung bertanya kepada buya tentang hal itu.

Buya adalah sebutan ku untuk ayah kandung di ruamhku. Buya mengajar di sekolah ku, Madrasah Aliyah Al-Falah. Jadi buya tau mengenai beberapa hal terkait pengumuman-pengumuman yang ada di sekolah, termasuk pengumuman lolos seleksi. Oh ya, aku belum mengatakan bahwa nama seleksinya adalah Program B------- Santri B---------- (PBSB). 

Alhamdulillah, ternyata ada satu temanku yang juga lolos, dengan jurusan yang sama denganku, namanya Shova. Sampai saat ini, aku masih bingung mengapa aku dapat diterima di sini. Aku bukan anak pandai yang selalu mendapatkan juara di kelas. Mungkin benar orang bilang “Orang pandai akan kalah dengan orang beruntung”. Dan sepertinya, ini adalah sebuah keberuntungan. Tapi bukan semata-mata beruntung karena Hoki, melainkan ini adalah karena do’a orang-orang disekitarku.


Ciputat, 4 Juni 2018
dalam rangka pengumuman PBSB 2018