Saturday, April 21, 2018

ZIDAH’s Journal: Makna 21 April


ZIDAH’s Journal: Makna 21 April

Sejak TK aku sudah diajarkan untuk mengenal atau bahkan merayakan hari-hari yang istimewa di negeri ini, tidak terkecuali Hari Kartini. Dulu waktu anak-anak umi masih TK, setiap tahun umi pasti “rempong” mencari tempat penyewaan baju adat, mencari salon untuk sanggul sekaligus make up, mencari orang  untuk nganterin ke TK dan kesibukan lainnya di hari itu. 

Saat sudah kuliah-pun, umi terkadang masih meminta anaknya untuk berfoto menggunakan baju adat. Seperti foto dibawah ini yang diambil satu tahun lalu. Semua anak perempuan umi diminta untuk menggunakan baju adat Sumatera, kebetulan waktu itu (21 April 2017), salah satu anak umi yang sedang menempuh pendidikan di Aliyah sedang mengadakan lomba menyambut hari Kartini di sekolahnya, dan baju ini adalah baju sewaan yang kami pinjam dari dia sehabis mengikuti perlombaan. 






Sore kemarin, di salah satu televisi swasta, aku melihat tayangan film layar lebar yang berjudul “Kartini”. Awalnya aku biasa saja melihat filmnya tapi semakin diikuti alurnya, aku semakin tertarik. Dari film tersebut aku memahami bahwa Kartini merupakan sosok “Pejuang Literasi” di masanya dengan segala problematika batin dan keadaan. Namun dibalik itu semua, tak melunturkan kegigihan Kartini.

Dari dulu hingga saat ini, aku tak pernah membaca secara detail tentang sejarah Raden Ajeng Kartini yang merupakan tokoh emansiapsi wanita yang selalu diperingati tanggal 21 April, yang aku tahu hanya sebatas sejarah yang dijelaskan oleh guru sewaktu sekolah, televisi, atau bahkan dari sosial media hasil postingan orang-orang. Aku merasa menjadi “Pemudi Payah” karena tak tahu secara detail mengenai sejarah bangsaku.

Apa  hanya aku yang merasa seperti ini? Atau pemuda-pemudi lain juga sama? Ahh.. Mudah-mudahan pemuda-pemudi lain berbeda denganku, sehingga bangsa ini akan terbebas dari kebodohan akan ketidaktahuan sejarah bangsanya. Tetapi dengan aku yang  merasa  payah, aku menjadi berusaha untuk lebih giat mencari tahu tentangnya.

“Hey kamu! Janganlah jadi pemalas yang selalu berkata ‘aku tak tahu’. Pelajarilah sejarah bangsamu, dengan begitu kamu akan tahu. Tidak ada kata terlambat untuk merubah tabiat. Ingat! Kamu adalah pemuda hebat! Bergeraklah!”


; April, 2018

Wednesday, April 18, 2018

"Jomblo Terhormat"

Jomblo Terhormat

 


Ada satu kilauan terpendam yang tak dinampakkan Tuhan. Mungkin itu aku ? Tapi tidak, bukan-bukan.

Itu adalah dia, seseorang yang tak menampakkan dirinya dalam kerumunan Adam.

Tunduk dalam berjalan, tutur lembutnya dalam berkata, santunnya dalam bersikap. Sempurnalah bagiku hamba yang Kau ciptakan.

Ia menjaga diri dalam kesendirian, ia menjaga pandangan dalam keindahan, ia menjaga rasa dalam ketaatan.

Tuhan menjadikan insan ini selalu dalam kesederhanaan. Memang terkadang yang sederhana itu tak selalu nampak. tapi bagiku, kesederhanaannya lah yang mengistimewakan segala yang tertutup darinya.

Ia selalu memberikan senyum wajah kepada siapapun, tapi tidak untuk senyum hatinya. Ia menjaga hanya untuk yang halal baginya kelak.

Baginya, penjagaan terhadap dirinya sebagai bentuk ketaatan terhadap Tuhannya.

Ia tak pernah memaksa Tuhan tuk memberinya seseorang yang 'kan membangun rumah syurga untuknya.

Karena ia tahu, tanpa ia memaksa Tuhan, kelak Tuhan-pun akan mempersiapkan (dia) yang dengan kegagahannya berada di barisan terdepan untuk memimpinnya.

Diamanapun sosok itu berada, sejauh apapun sosok itu bertempat, Tuhan pasti sedang mempersiapkannya untuk bersiap menemui hati yang sudah pasti tertulis dalam takdirnya.

Bersabarlah menunggu dalam kesendirian. Nanti ketika sosok itu datang, sambutlah dengan cinta dan taat yang terangkai sebagi wujud ibadah terhadap penciptanya.

Jakarta, 2016

Bertemu Denganmu (Lagi)! III


Bertemu Denganmu (Lagi)! III


14:00, aku menulis kisah ini secara langsung setelah aku bertemu denganmu, di lantai teratas kos dengan suasana sedikit teduh dan jauh dari hingar bingar tetangga kos.

***

Dua jam aku berdiri di logo kebesaran kampus, namun tak ku temukan tanda wisudawan akan segera keluar. Hanya terlihat keluarga yang menunggu di taman dan para pedagang yang sesekali berkata “Dek, beli Dek.”

Hari ini merupakan hari bersejarah bagi siapapun yang mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan selama empat tahun atau bahkan tiga setengah tahun. Hari bersejarah bagi mereka yang dengan susah payah mengorbankan tenaga, biaya, pikiran, dan perasaan. Apalagi sebagai anak rantau yang harus mengorbankan ego dan perasaannya untuk jauh dari keluarga. Namun yang pasti, dengan adanya moment seperti ini, pengorbanan akan terbayar dengan hadirnya kebahagiaan. Orang tua manapun akan bangga melihat anaknya berjalan dengan anggun dan atau gagahnya menggunakan kebaya atau jas yang diselubungi seragam hitam dan sleber sesuai dengan warna fakultasnya. 

Jarum jam hampir mengarah ke angka 12. Satu, dua, tiga, bahkan belasan wisudawan sudah mulai keluar. Tujuan utamaku datang ke sini adalah agar dapat memberikan selamat kepada kakak tingkat dan kerabat yang sudah banyak berjasa memperkenalkan ku akan makna keluarga dan organisasi selama menjadi mahasiswa, lebih dari itu, aku juga mempunyai tujuan sampingan yakni agar dapat bertemu dengannya untuk sekadar memberikan selamat karena sampai detik ini aku tak mempunyai keberanian berdialog dengannya.

Tak usah menyalahkan dirimu karena tak bisa memulai percakapan, karena akan ada waktunya engkau mempunyai keberanian, bukan hanya sekadar memberikan sapaan namun juga mengungkapkan perasaan. Tunggulah waktunya tiba dan kau akan memahaminya.
Kakak tingkat dan kerabat yang kuberikan selamat silih berganti, begitupun dengan foto yang sudah sudah berganti-ganti pose, jargon pun juga sudah berkali-kali terlontar. Namun sosok yang ku tunggu belum juga terlihat.

“Mungkin dia sudah harus dinas. Atau mungkin dia sudah pulang dengan keluarganya. Atau mungkin dia tak hadir dalam wisuda ini” fikiranku menduga-duga.

Tidak lama berselang. Ketika aku asik ngobrol, ternyata  lelaki itu tiba-tiba ada dihadapanku dengan jarak kurang lebih 10 meter. Aku memperhatikannya walaupun kadang tubuhnya teralingi oleh pohon besar. Yaa.. Untuk kesekian kalinya, Tuhan mengerti apa keinginanku, yang aku tak paham apakah ini juga termasuk kebutuhanku. 

Kata orang-orang, “Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan”. Aku tak paham apakah bertemu dengannya adalah kebutuhan atau sekadar keinginginan. Mungkin lebih tepatnya ini adalah sebuah kebetulan.

; Pertengahan Februari, 2018

Friday, April 13, 2018

Bertemu Denganmu (Lagi)! IV


Bertemu Denganmu (Lagi)! IV


Aku menulis cerita ini beberapa jam setelah kau pergi begitu saja sehabis menerima telfon yang entah dari siapa. Aku lebih suka menulis cerita tentang mu dibanding menulis penelitianku. Ada rasa bahagia rasanya bisa menceritakan sosokmu dalam bentuk narasi yang bahkan kau tak tau siapa aku.

Cerita kali ini bukan tentang masjid, fotocopy atau kampus. Melainkan tempat yang mungkin tak pernah terfikir olehmu dan olehku kalau kita akan bertemu. Tempat itu disebut “kos”. Bukan kosku atau kosmu, melainkan kos orang lain yang tak asing bagi ‘kamu’ yang membayangkan latar cerita ini.

***

Ini adalah kali pertama aku bertemu denganmu saat bulan dan bintang di sandingkan pada satu tempat yang sama. Seperti hal nya kita, untuk kesekian kalinya takdir Tuhan mempertemukan kembali ku denganmu.  Takdir selalu mempunyai caranya tersendiri, dan aku suka cara itu.


“Jangan tanyakan takdir kapan dan dimana
kau akan bertemu.
Karena tanpa sadar, kau sedang berdoa 
agar Tuhan mempertemukan dia untukmu.”
 


Malam itu ada acara di salah satu kos mahasiswa, dan salah satu mahasiswa yang hadir adalah kau. Kau datang lebih awal daripada yang lain. Tanpa kau sadar atau tidak, aku memperhatikanmu. Kau terlihat begitu gagah dengan baju koko mu. Mungkin beberapa wanita lebih suka melihat pria menggunakan koko karena lebih terlihat “adem”. Yaa.. Sama halnya denganku. Aku suka melihatmu, lebih tepatnya melihat kau menggunakan koko dengan celana yang berwarna tak senada dengan bajumu. Namun, rasanya, pakaian muslimmu kurang lengkap karena tak ada peci yang terpasang di kepalamu. Atau mungkin pecinya kau simpan di dalam tas dan belum sempat kau pakai, yang pasti, aku tak mempersoalkan tentang itu.

“Hai” sapaku spontan saat berpapasan denganmu di depan pintu.

Kau terus berjalan menunduk. Aku tak tahu apakah kau mendengar sapaanku, yang aku tahu hanya tiba-tiba keberanianku melonjak untuk menyapamu lebih dulu. Aku berjalan ke arah pintu luar dan kau berjalan ke arah dalam. Hanya berpapasan denganmu beberapa detik mampu membuatku merasa layaknya bermain Histeria Dufan. Mungkin ini kedengarannya terlalu berlebihan, namun begitulah kenyataan.

Setelah beberapa menit sapaan itu berlalu, aku kembali menuju dalam dan kau malah berbalik keluar pintu. Kita selalu berpapasan tanpa pernah berdiam di titik yang sama dalam waktu lama. Setelah itu, kau menghilang bersama telfon genggam yang masih tertempel di telingamu. Dan malam itu, kau tak pernah kembali lagi, lenyap bersama hembusan angin yang tak pernah berkabar untuk pamit.  Kau hanya datang untuk mengawali tanpa tahu cara mengakhiri.

***

Hanya sebatas itu ceritaku malam ini. Tak banyak yang bisa aku ceritakan tentangmu karena pertemuan malam itu begitu singkat.




Bukan soal seberapa lama aku bertemu dengan seseorang, namun seberapa bisa orang tersebut membuat hati dan pikiran ku tak karuan meskipun dalam waktu singkat, yang hanya akan  menyisakan kegelisahan di akhir pertemuan.


; Akhir Februari, 2018